Senin, 03 Februari 2020

KONTROVERSIAL RUU KUHP TENTANG PERZINAHAN


Oleh: ARUNG SAMUDRA
(Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar)

RUU KUHP Tentang Perzinahan adalah salah satu diantara bentukan hukum yang menjadikan ribuan mahasiswa dan aliansi LSM turun kejalan untuk menyatakan menolak. Diketahui, isi dalam RUU KUHP tentang perzinahan telah diubah maknanya. yang dulu sempit kini diperluas. Makna perzinahan yang dulu termaktub di dalam KUHP pasal 284  dengan penjelasan bahwa yang  dimaksud dengan perzinahan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya, persetubuhan yang dimaksud adalah suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.

Sementara itu, di RUU KUHP pasal 484  tentang perzinahan mencantumkan defisininya tidak hanya sebatas laki-laki atau perempuan dengan laki-laki atau perempuan yang sudah beristri atau bersuami. Namun, laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan sex di luar nikah dalam keadaan suka sama suka itu termasuk dalam kategori perzinahan.

Perluasan makna perzinahan  inilah yang kemudian menimbulkan perdebatan. sehingga Presiden menghendaki agar RUU KUHP termasuk pasal 484 tentang perzinahan ditunda untuk disahkan sebagai undang-undang RI.

Jika mencermati berbagai media informasi bahwa alasan beberapa orang menolak ditetapkannya RUU KUHP tentang perzinahan sebagai undang-undang adalah diantaranya berpotensi mengkriminalisasi pasangan tanpa akta pernikahan, kriminalisasi privasi warga negara, nikah siri atau adat terancam pidana, korban pemerkosaan yang tidak bisa dibuktikan untuk unsur paksaan beresiko terjerat delik zina, tidak melindungi anak korban pelecehan seksual.

Disisi yang lain bagi kaum yang setuju ditetapkannya RUU KUHP tentang perzinahan beralasan  demi terwujudnya kepastian hukum, menekan angka perselingkuhan, menindak perilaku kumpul kebo, mengantisipasi angka persekusi. Begitu juga terlihat kekurangan di pasal 284 KUHP tentang perzinahan bersifat delik absolut. Maksudnya, seorang laki-laki tidak dapat mengadukan laki-laki yang berzinah dengan istrinya agar di tuntut, kecuali hanya istrinya dapat diadukan dan dituntut.

Melihat dinamika perkembangan sosial di indonesia. Kehidupan masyarakat semakin kompleks. Membuat prihal perzinahan sudah tidak dapat dielakkan lagi. Bahwa sudah menjadi suatu hal yang biasa meski pun ada aturan dalam pasal 284 KUHP tentang perzinahan yang berlaku. Namun hukum itu tidak mampu untuk meminimalisir perzinahan bebas yang terjadi di masyarakat. Sebab ruang lingkup pasal tersebut yang sangat sempit memaknai perzinaan. Karena makna perzinaan itu lahir dari perspektif orang belanda. Sementara masyarakat indonesia mayoritas berkultur islam.

Hukum tentang perzinaan sangatlah penting karena menyangkut orientasi kehidupan sosial. Bagaimana kemudian agar masyarakat terjamin budi pekertinya, akhlak dan kehormatannya dalam aktivitas interaksi dengan lawan jenis. Kalau pasal 284 KUHP dipertahankan tentang perzinahan tidaklah tepat karena tidak sesuai dengan jiwa bangsa.

Sebelum indonesia menjadi negara kesatuan. Nusantara pernah dihuni oleh kesultanan-kesultan Islam. Di Sulawesi Selatan ada kesultanan Gowa, di Maluku ada kesultanan Ternate, di Sumatera ada kesultanan Aceh, di Jawa ada kesultanan Demak, di Melayu ada kesultanan Malaka, di NTB ada kesultanan Bima dan kesultanan kecil lainnya yang memiliki wilayah di semenanjung Nusantara.
Semua kesultanan itu menjadikan syariat Islam sebagai aturan resmi kekuasaanya. Demikian membuktikan bahwa jiwa bangsa Indonesia sebenarnya adalah nilai yang bersumber dari hukum Islam (Al-Qur'an dan Sunnah). Hanya setelah kedatangan portugis dan belanda lah yang mengubah hukum Islam menjadi hukum sekuler.

Oleh karena itu, perdebatan RUU KUHP tentang perzinahan mesti dikembalikan ke historis-sosiologis masyarakat Indonesia. Nilai-nilai yang berkembang dan menjadi jiwa bangsa harus dikembalikan kepada porsinya sejak dini yakni Syariat Islam yang mengharamkan perzinahan. Adapun persoalan delik aduan, tata cara pelaksanaannya dan juga pihak yang diberi kewenangan untuk melakukan pengaduan, begitu pun dengan perdebatan yang bersifat asumsi, Itu adalah pembahasan teknis yang bisa diselesaikan.

Namun hal yang esensial melarang perzinahan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam pernikahan harus diterapkan. Sebab fungsi hukum pidana tidak sebatas menghukum, tapi juga sebagai upaya preventif, tujuannya,semata-mata demi terwujudnya masyarakat yang beradab.

Wallahu'alam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar