Senin, 03 Februari 2020

MOMENTUM HARI HAM DAN ANTI KORUPSI HANYALAH TUPOKSI KALASE PBB


Oleh: Fajaruddin M
(Kadiv Kastra GEMA Pembebasan Komisariat UMI)

Setelah PBB menetapkan pada tanggal 09 Desember sebagai hari Peringatan Anti Korupsi dan 10 Desember sebagai hari Peringatan Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 2003, momentum akbar tersebut terus dilakukan tiap tahunnya.

Pagelaran internasional tersebut selalu menampakkan tuntutan yang sama. Padahal tidak ada satupun dari tuntutan tersebut yang terealisasi jika itu bertentangan dengan kepentingan pemangku kebijakan.

Parahnya, aktivis HAM dan demokrasi masih saja nyaman beromantisme dengan hal tersebut. Tanpa mau menela'ah lebih jauh, penyebab utama adanya hal yang jadi bahan tuntutan.

Dalam skala nasional saja, sejak era kemerdekaan masih terdapat beberapa kasus mega kurupsi yang tidak pernah terselesaikan hingga saat ini. Sebut saja BLBI, Bank Century, dll., bahkan para koruptor yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani masa tahan, bisa dikatakan hanyalah kedok untuk merebut kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Padahal mereka (koruptor) justru diperlakukan sangat istimewah, mulai dari hukuman yang tidak setimpal sampai fasilitas mewah diberikan kepada mereka dalam tahanan.

Bahkan kebijakan yang terbaru sangat mencengangkan, dimana mereka diberikan masa garansi untuk bisa berlenggok menikmati indahnya dunia bebas.

Belum lagi kasus kemanusiaan yang menimpa saudara-saudara kita di Palestina, Uyghur, Myanmar, dan dibeberpa wilayah lainnya, tidak ada satupun tindakan yang jelas dari pemangku kebijakan, dalam hal ini PBB sebagai otoritas tertinggi (saat ini) dalam penanggung jawab keamanan dunia.

Padahal untuk kasus pelanggaran hukum dan HAM oleh Israel terhadap palestina, Dilansir Rt Arabic, Lembaga PBB untuk penyelidikan pelanggaran HAM di Palestina, dalam konferensi pers, Senin (23/06/2019) mengatakan bahwa pihaknya prihatin dengan tingginya ekspansi permukiman  ilegal serta tindak kekerasan pasukan pendudukan Israel (IDF) yang menghilangkan nyawa warga dan anak-anak Palestina di bawah umur.

Sementara itu, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM), Michelle Bachelet, mengatakan bahwa Israel terbukti melakukan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dalam aksi Great March of Return di Jalur Gaza sejak Maret 2018.

Sangat disayangkan memang, PBB yang otoritasnya sebagai pion perdamaian dunia, hanya mampu memberikan rasa prihatinnya terhadap kasus kemanusiaan yang menimpa umat muslim di berbagai belahan dunia. Walaupun telah terbukti melakukan pelanggaran hukum internasional, negara kafir penjajah tidak pernah diproses lebih jauh. Maka disini peran organisasi Islam internasional, OKI sangat dipertanyakan kemaslahatannya bagi umat muslim diseluruh dunia.

Foto: Fajaruddin M.

Berbeda halnya jika negara atau orang-orang kafir yang mengalami pelanggaran HAM. Maka PBB dan aktivis HAM diseluruh dunia akan serentak melakukan unjuk rasa untuk menuntut keadilan. Sehingga, bisa kita lihat dengan sangat jelas standar ganda yang dilakukan oleh PBB, aktivis HAM dan demokrasi.

Maka, kita sebagai kaum muslim harus melihat lebih jelih lagi, bahwa mentum hari anti korupsi dan hak asasi manusia hanyalah tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) PBB dalam melakukan kalase untuk mengelabui perhatian umat Islam. Kenapa umat Islam? Karena mereka sadar bahwa peradaban yang bisa menggoyahkan singgasana PBB yang tidak lain hanyalah manifestasi dari kedigdayaan Amerika Serikat, hanyalah peradaban Islam.

Mereka selalu memberikan kita slogan, perayaan, yang tidak lain maksudnya ialah untuk menumbuhkan harapan kita terhadap ideologi yang mereka kendalikan, yaitu demokerasi kapitalisme.

Tak bisa dipungkiri, berbagai momentum yang ada tiada lain merupakan eufemisme dari bobroknya sistem hari ini. Lihat saja rumusan trias politika yang diadopsi dari Montesque seorang pemiki cerdas dari Prancis.

Rumusan tersebut awalnya sebagaimana menurut Montesque, agar negara tidak otoriter, kekuasaan tidak boleh berpusat pada satu atau sekelompok orang saja. Oleh karena itu, Montesque menyarankan agar pembuat undang-undang (Legislatif), pelaksana undang-undang (Eksekutif), haruslah orang yang berbeda. Maka lahirlah trias politika: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.

Secara logika, untuk membasmi teori tersebut (trias politika) haruslah orang yang cerdas, minimal lebih cerdas dari sang perumus, Montesque. Namun sayang, logika bukanlan metode berfikir yang tepat untuk menghukumi sesuatu. Buktinya, tak perlu orang yang sangat hebat, hanya butuh seorang nenek tua untuk melumpuhkan trias politika.

Dengan cerdiknya, Dia mengumpulkan tiga kekuasaan yang terpisahkan dalam satu tangannya. Pimpinan eksekutif diserahkan kepada petugas partainya, pimpinan legislatif diserahkan kepada anak emasnya, sementara yudikatif berada dalam kerabat karibnya. Maka, selesailah sudah teori trias politika yang dibangun dengan kecerdasan intelektual sang pemikir.

Itu merupakan kebobrokan dari segi trias politikanya, belum lagi para penyelenggara kebijakan, produk hukum, mekanisme untuk menjalankan roda pemerintahan, dll., semuanya tidak terlepas dari genggaman sang donatur, sebut saja si kapitalis. Termasuk si nenek tua yang menggenggam trias politika.

Maka, sudah sepantasnya tidak ada lagi kepercayaan terhadap sistem yang bobrok ini. Dan sudah seharusnya, arah perjuangan yang kita lakukan bukan lagi hanya sekedar untuk memeriahkan momentum omong kosong ini. Melainkan harus fokuskan pada perlawanan untuk menghancurkan hegemoni kaum kafir penjajah.

Wallahua'lam....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar