Senin, 03 Februari 2020

SENGKETA LAUT CHINA SELATAN: INDONESIA DILEMA!!!


Oleh: Rahman Adira
(Ketua GEMA Pembebasan Komisariat UMI)

Kedaulatan Indonesia sedang dirong-rong, dengan insiden masuknya beberapa kapal nelayan negeri tirai bambu yang dikawal kapal Coast Guard, yang terdeteksi masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif ( ZEE) Natuna secara ilegal, membuat hubungan Indonesia-China memanas.

Dalam mempertahankan integritas teritorial dapat ditempuh cara damai atau penggunaan kekuatan. Tersedia juga pilihan untuk mempertahankan status quo di wilayah sengketa tersebut  atau sama-sama mengelolanya. Langkah-langkah yang digunakan Indonesia untuk menyelesaikan sengketa di Natuna dengan China bisa lewat Mahkamah Internasional, perang militer dan diplomasi antara dua negara. Namun ada yang perlu diperhatikan sebelum mengambil langkah-langkah tersebut agar negara ini tidak salah strategi dalam mengambil keputusan.

MAHKAMAH INTERNASIONAL

Bukan hanya dengan Indonesia, China bersengketa dengan lima negara di Asia Tenggara yang perbatasan lautnya berada di Laut China Selatan. Termasuk Malaysia, Vietnam dan Filipina.

Mahkamah Internasional bisa menjadi pilihan untuk menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan, antara Indonesia dan China. Indonesia bisa meniru sikap negara tetangga yaitu Malaysia yang akan melaporkan kasus sengketa dengan China ke PBB.

Jangan pernah pergi kemeja perundingan kalau belum siap. Indonesia perna mengalami cerita pahit di Mahkamah Internasional. Ketika kasus pulau Sipadan dan Ligitan yang diklaem oleh Malaysia. Seharusnya itu menjadi pelajaran yang berharga bagi bangsa ini.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa dasar hukum Internasional yang kita kedepankan untuk membangun argumentasi terkait sengketa di Natuna yaitu Konvensi UNCLOS (United Nations Convention Of the Law of the Sea). Padahal convensi UNCLOS yang di gunakan pada saat di Mahkamah Internasional ketika Indonesia bersengketa dengan Malaysia terkait pulau Sipadan dan Ligitan. Yang akhirnya keputusan Mahkamah Internasional adalah pulau Ligitan dan sipadan menjadi milik Malaysia.

Hari ini pun ketika Indonesia bersengketa dengan China di Natuna tidak menutup kemungkinan ketika kasus ini di bawah ke meja Mahkamah Internasional dengan argumentasi yang sama, maka China akan dimenangkan dengan Argumentasi Nine-Dash Line serta konsep traditional fishing grounds. Walaupun UNCLOS tidak mengenal istilah konsep “traditional fishing grounds”. Serta tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Lantas bagaimana dengan cara angkat senjata?

PERANG MILITER

Perang militer adalah salah satu pilihan yang bisa digunakan untuk menyelesaikan sengketa di pulau Natuna. Dalam bukunya Muhammad Musa menulis unsur-unsur kekuatan negara, yaitu pertama; Pandangan Hidup (Way of Life), kedua; Faktor Ekonomi Dan Teknologi, ketiga; Faktor Demografi, keempat; Kekuatan Militer, kelima; Faktor Geografi, dan yang terakhir adalah Diplomasi. Militer adalah salah satu unsur kekuatan negara, maka ketika terjadi perang kedua negara akan saling menjukan kekuatannya masing-masing.

Satu catatan penting yang ditulis oleh Muhammad Musa yaitu  "Kekuatan ekonomi adalah jantung kekuatan, dimana kekuatan tersebut dengan cepat akan berubah menjadi kekuatan militer.

Teknologi juga merepresetasikan awal kekuatan negara yang solid yang dari sanalah kekuatan militer lahir. Ini harus menjadi perhatian bagi negara Indonesia ketika ingin berperang untuk menyelesaikan sengketa di Natuna, Yaitu kekuatan Ekonomi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa China adalah Negara ekonomi  terkuat kedua setelah AS, dengan GDP/PDB 13,6 triliun USD pada tahun 2018. Bahkan sebagian ekonom menganalisis, China berpotensi  menggeser AS menjadi negara adidaya.

Lantas bagaimana dengan Perekonomian Indonesia?

Sebagaimana yang dilansir dari Merdeka.com -Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2018 sebesar USD 3.927 atau sekitar Rp 56 juta/kapita per tahun.

Implikasi dari perkembangan Ekonomi yaitu adanya alokasi anggaran untuk pertahanan negara. Sebagaimana yang disampaikan oleh Zhang Yesui, juru bicara Kongres Rakyat Nasional (NPC), anggaran pertahanan 2018 akan menjadi 1,11 triliun yuan atau setara Rp2.500 triliun. Ini adalah anggaran yang cukup besar, jadi tidak heran jika China menjadi negara dengan Ekonomi terkuat kedua di dunia dan menjadikan militernya yang terkuat.

Sedangkan Indonesia untuk anggaran pertahanan, TEMPO.CO, Jakarta - Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020, Kementerian Pertahanan tercatat memperoleh alokasi anggaran terbesar, yakni sebesar Rp 126,9 triliun. Angka itu naik bila dibandingkan dengan alokasi anggaran pada 2019 sebesar Rp 106,1 triliun. Adapun pada 2018, belanja pertahanan negara mencapai Rp 107,7 triliun. Meski demikian, anggaran Kementerian Pertahanan tetap tercatat menjadi yang paling tinggi untuk beberapa tahun terakhir.

Anggaran yang dialokasikan China dan Indonesia untuk pertahanan begitu jauh berbeda, dalam politik perimbangan kekuatan untuk menyelesaikan sengketa di Natuna saya katakan Indonesia mampu melawan kekuatan Militer China. Lantas bagaimana? Diplomasi bisa dijadikan pilihan.

DIPLOMASI

Tidak menutup kemungkin Pemerintah lebih memilih cara diplomasi untuk menyelesaikan persoalan sengketa teritorial di Pulau Natuna dengan China, ketimbang melalui jalur Mahkamah Internasional maupun perang antar militer.

Yang perlu dipahami adalah ketika terjadi diplomasi terkait kasus Natuna berarti pemerintah sedang berunding, sedangkan perundingan adalah proses tawar-menawar, artinya akan melakukan kompromi, yang tidak lain yaitu menarik diri untuk kepentingan pihak lain dan memperoleh keuntungan akibat penarikan diri pihak lain.

Jadi dipolomasi ini merupakan aktivitas untung rugi. Adagium "seorang diplomat yang sukses adalah orang yang tidak membayar lebih dari yang dia inginkan dan tidak memperolah kurang dari apa yang dia inginkan"

Pemerintah harus mengatur strategi dengan baik untuk diplomasi, walapun persoalan Natuna tidak menutup kemungkinan pemerintah bersepakat dengan China untuk pengelolaan bersama. Suda bisa dipastikan China tidak ingin rugi dalam diplomasi serta melepaskan Natuna yang berada di laut China selatan.

Wilayah Laut China Selatan dikatakan mengandung sumber kekayaan alam yang sangat besar, meliputi kandungan minyak dan gas bumi serta kekayaan laut lainnya, juga perairan Laut China Selatan merupakan wilayah yang menjadi jalur perlintasan aktivitas pelayaran kapal-kapal internasional, terutama jalur perdagangan lintas laut yang menghubungkan jalur perdagangan Eropa, Amerika, dan Asia.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Asia.

Bukan hanya China yang tidak Ingin rugi Ketika terjadi diplomasi, tetapi Indonesia juga tidak ingin dirugikan terkait sengketa Natuna, karena jangan sampai pontensi yang dikandung  Natuna dieksploitasi oleh China, dan Indonesia tidak mendapatkan apa-apa.

Disisi lain, beberapa tahun belakang hubungan pembangunan Ekonomi dan infrastruktur antara Indonesia dan China begitu dekat. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), China memang memiliki peranan penting bagi Indonesia. Hal ini tercermin dari derasnya realisasi investasi dari negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping ke Tanah Air. Pada 2019 misalnya, China masuk dalam posisi tiga besar negara yang getol mengalirkan investasi ke dalam negeri. Tercatat, dana yang mengalir ke Indonesia mencapai US$3,31 miliar melalui 1.888 proyek.

Dampaknya membuat Indonesia dilema dalam mengambil sikap terkait sengketa di Natuna. Sengketa yang terjadi di laut China Selatan adalah pertarungan serta perebutan dominasi, antara As dan China, karena beberapa negara di Asia memiliki hubungan bilateral dengan negara AS yaitu Singapura, Philipina, dan Thailand.

Seharusnya, krisis moneter pada masa pemerintahan Soeharto menjadikan pelajaran yang begitu berharga bagi kita terkait persoalan utang.

Bagaimana tidak. Bahkan pada waktu itu, bahasa yang digunakan oleh kedua negara dalam mengatasi keuangan bangsa ini ialah "pinjaman" yang notabenennya lebih halus dari utang. Akan tetapi memiliki substansi yang sama, yaitu adanya timbal balik yang dibalut oleh bunga atau rempah perjanjian hitam diatas putih. Dimana, dengan adanya kesepakatan tersebut, sesungguhnya kedaulatan bangsa ini telah tergadaikan. Liat saja kekayaan alam kita digeruk tanpa sisah, berbagai produk undang-undang yang diberlakukan begitu banyak campur tangan pihak asing untuk memuluskan ambisiusnya, hal ini diakui langsung oleh beberapa anggota DPR RI itu sendiri.

Dengan potensi Indonesia sebagai negara dengan berpendudukan kurang lebih 80% umat muslim. Sudah seharusnya menerapkan hukum Syariah, dimana akan membasmi secara tegas berbagai macam riba (bunga bank/pinjaman) yang tidak lain merupakan racun paling mematikan yang selama ini mencekik bumi pertiwi.

Bagaimana tidak, demokrasi yang menjadi pola permainan dalam konstitusi negara hari ini justru hanya menjadi sumber malapetaka dengan kebebasan yang diberikan kepada manusia untuk berserikat tanpa mengenal ambang batas Tuhannya.

Sehingga, lahirlah berbagai macam produk pemikiran termasuk dalam hal mebuat hukum, alhasil riba pun dihalalkan.

Maka, kita tidak boleh terus terdiam, membelenggu apa lagi larut dalam dilema oleh problematika yang terus menghantam bumi pertiwi. Sudah saatnya revolusi, kita harus melihat, menerapkan suatu tatanan pemerintahan yang lain, yakni Khilafah Islamiyah.

Wallahu'alam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar